Pendidikan Teologi maya 2010
Seperti biasanya ‘iman’ produser dan sutradara akan menghasilkan ungkapan iman dalam karya film mereka, demikian juga dengan film itu. Film itu disutradarai oleh Simca Jacobovici, seorang tokoh Zionisme yang mengepalai seksi pemuda organisasi Zionisme Canada, dan diawali dengan adegan yang mengungkapkan praduga tak bersalahnya para Imam Yahudi yang mengatakan bahwa ‘Mayat Yesus dicuri para murid dan dimakamkan di Talpiot.’ Maka digulirlah sebuah film yang mencari segala dalih yang mungkin untuk membenarkan ucapan para Imam Yahudi yang tercatat dalam Injil (Dusta Mahkamah Agama, Mat.28:11-15) untuk menunjukkan ketidak bersalahan praduga tersebut. Sensasi ini sempat meluas dan dipopulerkan Discovery Channel, namun tidak lama kemudian meredup dan dilupakan orang, dan orang kembali mengaminkan bahwa ‘Kubur kosong dan Yesus telah bangkit dari kubur-nya!’ Menggugat Yesus Umumnya kritik-kritik muncul dari para teolog yang terpengaruh faham liberal yang tidak lagi mempercayai hal-hal supra-natural terutama tentang mujizat kebangkitan Yesus dan menganggap banyak hal disekeliling Yesus sebagai mitos, bukan saja mereka telah kehilangan iman mereka namun ada yang berbalik mencari segala macam dalih untuk menggugat kehidupan Yesus sendiri. Yang menarik biasanya kritik dan gugatan demikian berubah-ubah sesuai perjalanan angin gosip yang laku dijual. John Dominic Crossan yang diberhentikan sebagai pastor gereja Katolik Roma karena pandangannya yang radikal yang kemudian mendirikan Jesus Seminar (1986) bersama Robert Funk, mengemukakan bahwa ‘kemungkinan besar Yesus mati disalib lalu mayatnya dimangsa anjing-anjing yang berkeliaran di bawah salib’ (akibatnya tulang-tulang Yesus tercecer ke mana-mana). Alhasil kemudian teori itu dikesampingkannya begitu saja ketika muncul isu ditemukan tulang-belulang Yesus secara rapih disebuah osuari di selatan kota Yerusalem dan ia lalu mendukung bahkan menjadi konsultan film ‘The Lost Tomb of Jesus’ yang berteori bahwa Yesus mati lalu dimakamkan secara tenang di makam keluarga di Talpiot yang mencolok bentuknya tidak jauh dari Jerusalem, dan setahun kemudian tulang-tulangnya dimasukkan osuari! Abad ke XIX adalah kelahiran banyak ajaran baru yang pada umumnya membentuk aliran sektarian yang kebanyakan bersifat ‘anti-trinitarian,’ namun pada abad itu pula lahir pemikiran liberal yang meragukan ‘Ketuhanan Yesus’ dan menekankan ‘Yesus Sejarah’ (dan sejak tahun 1985 di abad XX dalam bentuk ‘Jesus Seminar’). Penyelidikan ‘Yesus Sejarah’ menggugat figur Yesus yang manusia dibalik Yesus Iman yang dianggap mitos sekitar kehidupannya. Sejajar dengan itu pula, pada abad itu ada pula beredar tulisan-tulisan yang mempertanyakan apakah Yesus itu figur sejarah atau sekedar dongeng, ini dikenal sebagai teori ‘Mitos Kristus’ (Christ Myth theory). Dalam Mitos Kristus, Yesus bukan saja digugat ketuhanannya tetapi kemanusiaannya juga digugat dan dianggap tidak pernah hidup didunia seperti yang diceritakan dalam Injil. Lebih dari itu, hikayat Kristus dianggap sebagai personifikasi atau copy tokoh-tokoh mitologi kuno seperti tidak kurang yang dinamakan Osiris, Horus, Attis, Dyonisus, Mithra, Tammuz-Adonis, Hadad, dan Krishna, bahkan lebih jauh lagi ada yang menyamakannya dengan Buddha maupun dewa Norwegia Balder dan Odin. Sama halnya dengan versi makam Yesus yang diisukan ditemukan di berbagai tempat yang berbeda-beda, apakah di Perancis Selatan, Kashmir, Jepang Utara (Herai), atau Talpiot, kita akan terkejut melihat banyak teori mitologi yang dianggap sebagai sumber cerita ‘Yesus dari Galilea’. Namun, berbeda dengan penyelidikan Yesus Sejarah yang banyak mendapat sambutan yang pro dan kontra, pandangan Mitos Kristus kurang dipedulikan kalangan teologi (termasuk yang liberal) karena umum menganggapnya sebagai ‘pseudo-scholarship’ (keilmiahan semu). Sekalipun demikian, belakangan ini pandangan itu ada saja yang terus-menerus mempopulerkannya lewat internet, seperti kalangan liberal tertentu yang terobsesi menolak Yesus sebagai Kristus maupun kalangan agama lain yang tidak bisa menerima bahwa Yesus adalah Tuhan! Banyak buku bernafas demikian diterbitkan pada dasawarsa pertama abad XXI, seperti yang populer antara lain buku-buku berjudul ‘The Christ Conspiracy’ (Acharya S., 1999) dan ‘The Pagan Christ’ (Tom Harpur, 2004), paham mana dipopulerkan via internet terutama oleh situs ‘Religious Tolerance’ yang timnya beranggotakan masing-masing satu orang berfaham Atheis, Agnostic, Wiccan, Zen-Buddhist, dan Kristen Liberal (pendukung Jesus Seminar), jadi dapat diraba kemana arah tulisannya sejalan dengan iman-iman para anggotanya, tulisan mana kemudian di’Indonesia’kan oleh kalangan di tanah air yang tidak bisa menerima ‘Yesus adalah Tuhan’ (Lord) dan menjadikannya sekedar ‘Dongeng’ (legend/myth). Kalangan ini bisa secara populer dijuluki pula sebagai penebar ‘isu’ ‘The Anti-Christ Conspiracy.’ Christ Myth Theory Tidak dapat disangkal bahwa teori-teori ‘Yesus Sejarah’ dan ‘Mitos Kristus’ memang berpangkal dan merupakan ungkapan iman dari keyakinan para pnulisnya, dan tepat seperti yang dikemukakan oleh Wikipedia bahwa: “The Study of Jesus Christ as myth is popularly associated with sceptical position toward the historicity of Jesus.” (Jesus Christ in Comparative Mythology) Pelopor teori Mitos Kristus diabad XIX adalah tokoh-tokoh ‘evolusi agama’ seperti Max Muller dan James Frazier (bukunya berjudul The Golden Bough cukup populer) yang meneruskan ide Contantine Francois-Volney dan Charles Francois Dupuis (1790) yang mengemukakan bahwa mitos-mitos kuno termasuk Yesus berlandasakan pergerakan matahari melalui rasi bintang, ia juga menolak sama sekali fakta bahwa Yesus pernah hidup. Muller menganggap bahwa agama-agama bersumber kepercayaan mitos tentang kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali Matahari, sedangkan Frazier berteori bahwa manusia percaya akan mitos ‘raja yang berkorban’ yang dikaitkan dengan Matahari sebagai tuhan yang mati dan bangkit kembali dan berkaitan dengan siklus musim semi dibumi. Pendukungnya termasuk Bruno Bauer, yang beranggapan bahwa penemu kekristenan adalah Philo, orang yahudi Aleksandria, yang mencampur-adukkan ide-ide yahudi dan filsafat yunani, malah secara radikal ia berteori bahwa Yesus tidak pernah ada. Dalam buku ‘The Christ Myth’ (1909), Arthur Drews penulisnya mengemukakan bahwa kekristenan tidak lain hanyalah sebuah kultus gnostik yahudi yang meramunya dengan filsafat yunani dan teori kematian-kelahiran dewa sesuai evolusi agamanya James Frazier. Bertrand Russel dalam bukunya ‘Why I’m Not A Christian’ (1927) malah meragukan bahwa Yesus pernah ada, namun ia berpendapat bahwa andaikan Yesus adapun publik tidak akan tahu apa-apa tentang dirinya. Rudolf Bultmann dalam buku ‘New Testament & Mythology’ (1941) mendorong pembaca agar meninggalkan teologi tradisional yang dibungkus mitologi dan mencari kebenaran beritanya (kerygma). John Hick yang mengedit pendapat 7 teolog Inggeris dalam buku ‘The Myth of God Incarnate’ (1977) mengemukakan bahwa inkarnasi Tuhan dalam Kristus sebenarnya hanyalah sebuah mitos. Yang kelihatan makin dicari-cari adalah pendapat teori dari John M. Alegro (1970) yang menyebutkan bahwa ‘kekristenan bermula sebagai agama perdukunan yang disebabkan penggunaan jamur yang menyebabkan halusianasi.’ Teori Mitos Kristus ini juga mempengaruhi tokoh-tokoh materialisme dan komunisme yang atheistik seperti Karl Marx dan Frederick Engels dan menjadi pandangan Marxisme yang kemudian dijadikan pandangan resmi pemerintah Soviet Russia dan ditulis dalam buku-buku wajib yang diajarkan di sekolah umum dan perguruan tinggi pemerintah. Namun, pandangan pemerintah Soviet yang menolak sifat historis Yesus itu berangsur-angsur direvisi menjadi theistik pada bagian akhir abad XX. Acharya S. penulis ‘The Christ Conspiracy’ menjadi konsultan film ‘Zeitgeist’ yang mempopulerkan Mitos Kristus, dan tokoh ‘New Atheism’ Richard Dawkins juga mempopulerkannya dalam bukunya ‘The God Delusion.’ Dijajaran tokoh mitologi tidak semua bernada liberal atau atheistik, sebab banyak juga yang bernada konservatif dan theistik, seperti C.S. Lewis (karyanya a.l. ‘Narnia’) dan J.R.R. Tolkien (karyanya a.l. ‘Lord of the Rings’) yang memandang mitologi sekitar ‘kematian penebus manusia’ sebagai ‘mitos yang benar’ yang secara historis terjadi secara nyata dalam ruang dan waktu yang diungkapkan dalam bahasa mitologi. Adanya mitos-mitos kuno tentang kematian dan penebusan ilahi hanya merupakan percikan rahasia ilahi yang sepenuhnya baru terungkap di Yudea. Michael Green dalam buku ‘The Truth of God Incarnate’ mengedit tanggapan-tanggapan para teolog konservatif mengenai mitos-mitos kuno. C. Stephen Evans dalam buku ‘The Historical Christ & The Jesus of Faith’ (1996) mengemukakan bahwa kita tidak perlu kecil hati kalau menyebut Injil mengandung mitos, karena yang disebut mitos itu bisa mengandung sejarah nyata. Lalu Bagaimana ? Sekalipun cukup menebarkan sensasi dan skandal, dapat dimengerti mengapa teori Mitos Kristus kurang laku dikalangan arus-utama ahli teologi (termasuk yang liberal) sekalipun laku dikalangan masyarakat umum, soalnya penganjur Mitos Kristus tutup-mata atau menolak kebenaran sejarah kehidupan Yesus dan kesaksian para rasul dalam Injil sebagai ‘saksi mata’ yang kesaksiannya diteruskan oleh para murid mereka, yaitu para ‘bapa gereja’ seperti ‘Clement dari Roma dan Ignatius dari Antiokhia.’ Padahal tulisan ahli sejarah non-Kristen yang yahudi Josephus pada abad I ‘The Antiquities of the Jews’ (a.l. XVIII, 3, 3) mengaminkan sifat sejarah tokoh bernama Yesus yang hidup di Yudea pada abad pertama, termasuk juga tulisan Tacitus (Annals, XV, 44) filsuf Romawi yang tulisan-tulisannya anti kristen pada awal abad II yang mengungkapkan dalam tulisannya tentang adanya kehadiran agama baru di Palestina yang berpusat Yesus. Baik Josephus maupun Tacitus sekalipun bukan saksi mata ikut menjadi saksi sejarah sama halnya yang dialami para rasul dan penulis Perjanjian Baru di abad pertama awal kekristenan. Para penganut Jesus Seminar maupun Christ Myth Theory menuduh bahwa kesaksian para bapa gereja termasuk Josephus dan Tacitus sebenarnya adalah tambahan kemudian dari penyalin tulisan-tulisan itu yang beragama kristen, atau karena kesalah pahaman pengertian mengenai mitos yang beredar kala itu. Dikalangan pembaca umum yang cenderung mudah dimakan isu dan gosip, teori ‘Mitos Kristus’ tetap laku dan beredar luas melalui internet hingga saat ini sekalipun banyak yang sudah mengungkapkan kesalahan-kesalahan teori itu. Namun, Arus utama kalangan teologia menolak pandangan Mitos Kristus yang menganggap bahwa Injil ditulis dibawah pengaruh mitologi Mesir dan Yunani (apalagi kalau dipengaruhi agama Hindu, Buddha, dan Norwegia juga) karena mereka sadar bahwa kekristenan sekitar Yesus bertumbuh dalam lingkungan Yahudi yang sangat keras menolak pengaruh budaya kafir seperti Mesir (Kel.32) dan Yunani (Kitab Apokrifa Maccabee) dan ingat juga bagaimana para Nabi yang melawan pengaruh kekafiran pada zaman mereka masing-masing. Menganjur teori Mitos Kristus biasanya menganut faham agama mistik dan gnostik, Acharya S. (nama sebenarnya Dorothy M. Murdoch) artinya ‘pemimpin spiritual’ dalam Buddhisme, dan kita tahu juga bahwa situs Religious Tolerance bernafaskan Atheisme, Agnostisisme, Wiccan, dan Zen-Buddhisme disamping kekristenan liberal yang menolak hal-hal supranatural. Persamaan dengan mitos kuno yang dikemukakan biasanya dicocok-cocokkan sehingga yang tidak sama dianggap sama, sebab bila kita menyelidiki sumber lengkap mitos itu sendiri, kita justru heran mengapa disamakan secara tendensius begitu. Demikian juga mereka biasa mengkritik bahwa tidak ada sumber di luar Injil yang bercerita mengenai Yesus, padahal kenyataannya semua bukti yang berasal dari luar Alkitab dan kekristenan (seperti Josephus dan Tacitus) lalu dianggap sebagai ‘diubah oleh para pengikut Yesus’. Menarik untuk diketahui bahwa sejak abad XIX pun sudah banyak penulis kristen yang membuktikan sifat sejarah manusia Yesus dalam buku-buku yang mereka tulis, bahkan Albert Schweitzer, tokoh Yesus Sejarah, sekalipun menggugat aspek mitos dalam kehidupan Yesus, dalam buku ‘The Quest of the Historical Jesus’ memberikan banyak perhatian dan menolak teori Mitos Kristus yang menganggap Yesus tidak pernah hidup dalam sejarah, baginya, Yesus hidup dalam sejarah sekalipun keilahiannya ditolak. John Dominic Crossan tokoh Jesus Seminar yang gigih menolak ke’tuhan’an Yesus pun menanggapi keyakinan Mitos Kristus sebagai keyakinan bahwa ‘Appolo tidak pernah mendarat di bulan,’ sedangkan Bart Ehrman, teolog agnostik dan penulis ‘Misquoting Jesus’ yang bernada miring terhadap Alkitab sebagai catatan historis pun mengakui bahwa Yesus adalah figur sejarah dan ia mengatakan ‘teori Mitos Kristus sebagai kegila-gilaan (craze).’ Teori Mitos Kristus tidak pernah menerima pengakuan dari para akademisi arus utama, penolakan kalangan akademisi sudah terjadi sejak awal abad XIX dalam buku ‘Historic Doubts Relative to Napoleon Bonaparte’ (Richard Whatley, 1819) dan ‘Grand Erratum’ (Jean Baptiste Peres, 1827) yang menyanggah keraguan Dupuis. Fred C. Conybeare menulis ‘The Historical Christ’ (1914) menyanggah keraguan Arthur Drews, sedangkan Maurice Goguel melalui bukunya ‘Jesus of Nazareth: Myth or History?’ (1926) menolak anggapan latar belakang mitologi sebelum Kristus, sebab kekristenan tumbuh berdasarkan bukti-bukti kuat yang keluar bukan saja dari kalangan kristen orthodox, melainkan dari pihak dosetik, maupun para musuh kekristenan. Penolakan teori Mitos Kristus yang lebih mutakhir bisa dibaca dalam buku ‘The Evidence for Jesus’ (R.T. France, 1986), ‘Jesus Outside the New Testament’ (Robert van Hoost, 2000), dan ‘The Jesus Legend: A Case for the Historical Reliability of the Synoptic Jesus Tradition’ (Greg Boyd dan Paul Eddy, 2007) dan banyak lainnya. Akhirnya, berita mengenai kesejarahan Yesus itu bukan mitos bisa dilihat adanya fakta bertubi-tubi yang sampai sekarang ‘Menolak sifat sejarah-Nya sebagai Tuhan (Jesus Seminar) bahkan juga sebagai manusia (Christ Myth Theory)’ menunjukkan dengan meyakinkan hal sebaliknya bahwa ‘Yesus memang hadir dalam sejarah dunia baik sebagai Tuhan maupun manusia’, patokan penanggalan dunia sejarah yang menunjukkan istilah ‘BC’ (Before Christ) dan ‘AD’ (Anno Domini, Tahun Tuhan) sekalipun ada yang menolak dan ingin menggantikannya dengan ‘BCE’ (Before Common Era) dan ‘CE’ (Common Era), namun sampai sekarang baik siaran international yang banyak membahas sejarah dunia, a.l. National Geographic, Discovery Channel, History, maupun BBC umumnya masih terus menggunakan akronim ‘Before Christ’ dan ‘Anno Domini’ yang menunjukkan dengan gamblang bahwa ‘Jesus Christ Is Lord’ (Yesus Kristus adalah Tuhan)! Alkitab mencatat bahwa kehadiran Yesus sebagai manusia dan Tuhan bukanlah sekedar mitos yang beredar ditempat terpencil dan hanya di kalangan yang mempercayainya, melainkan merupakan berita yang tersebar luas secara umum dan diketahui oleh raja. Lukas, tabib sejarawan itu menulis dalam Kisah Para Rasul bahwa bahwa: “Tetapi Paulus menjawab: "Aku tidak gila, Festus yang mulia! Aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat! Raja juga tahu tentang segala perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun dari semuanya ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil.” (Kis.16:15-26). Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org
|