Pendidikan Teologi maya  2010
 

SABAT TAURAT & INJIL YESUS

“Dalam Perjanjian Lama diajarkan ritual Sabat Taurat, yaitu perhentian pada hari ketujuh (Sabtu) dari semua pekerjaan. Namun, adat-istiadat Yahudi lama kelamaan tidak lagi mengerti hakekat Sabat yang memberi kelegaan/pembebasan/perhentian itu, tetapi kemudian menjadi syariat taurat yang memberatkan umat. Yesus datang menjadi Tuhan atas Sabat Taurat dan untuk menggenapkan hari kelegaan/perhentian yang sebenarnya.”


 

SABAT TAURAT PERJANJIAN LAMA

Sejak PL, Sabat sebagai hukum keempat (Kel. 20:11) terus dijalankan secara ketat oleh orang Yahudi, bukan sekedar sebagai peringatan tentang hari tertentu dimana seseorang mengalami istirahat/perhentian setelah seminggu bekerja, namun dalam ibadat kemudian hal ini membeku menjadi ritual syariat yang mengkramatkan hari sabtu yang membatasi dan membebani kehidupan manusia. Demi Sabat orang tidak boleh berjalan jauh sekalipun itu untuk tugas mulia, dan demi Sabat seseorang diharamkan menolong ternaknya yang terperosok di jurang kalau jaraknya melebihi syariat Taurat yang sudah digariskan. Pokoknya Sabat berbeda dari maksud diadakannya semula sebagai hari perhentian yang membebaskan, tetapi kemudian berubah menjadi hari yang membelenggu umat.

SABAT TAURAT & INJIL YESUS

Sejak Yesus melayani, Ia masih mengikuti hari-hari raya Yahudi dan beribadah di hari Sabat (Luk.4:16,31), tetapi kemudian kita melihat bahwa itu dilakukan bukan sebagai pengikut ritual taurat dan tradisi yahudi tetapi karena itu adalah hari dimana Ia bisa bertemu umat yang berkumpul di rumah ibadat, dan disanalah Yesus mendapat kesempatan bersaksi bahwa Ia adalah ‘Tuhan atas hari Sabat’ (Mat.12:8) dan menyatakan diri-Nya sebagai ‘Diurapi oleh Roh Tuhan’ untuk mendatangkan misi menyampaikan ‘Tahun Rahmat Tuhan’ (Luk.4:18-19).

Bahwa Yesus tidak menjalankan syariat Sabat Taurat seperti kebiasaan Yahudi dapat diketahui dari kenyataan bahwa Ia selalu disalahkan oleh orang Farisi karena dianggap ‘melanggar sabat.’ Yesus mengkritik orang Farisi yang mengerti Sabat sebagai kuk yang mengikat umat, dan menyatakan diri sebagai perhentian bagi umat. Yesus tidak pernah mengajar agar kita menjalankan perintah Sabat melainkan membawa umat pada pengertian Sabat sebenarnya kepada diri-Nya yang membawa kelegaan/perhentian kepada umat (Mat.11:28, menggunakan akar kata ‘pauo’ yang sama untuk perhentian dalam Ibr.8:3). Setelah bangkit, Yesus tidak pernah hadir di Bait Allah / Sinagog pada ibadat Sabat. Ia pun bangkit tidak pada hari Sabat melainkan hari ‘pertama dalam minggu’ (Yoh.20:1), dan menjumpai para murid yang berkumpul pada ‘hari pertama dalam minggu’ (Yoh.20:19)  dan seminggu berikutnya (Yoh.20:26), dalam perjumpaan setelah kebangkitan itu Yesus dipanggil ‘Tuhan’ (Yoh.20:18,20,25,28). Yesus sudah menjadi Tuhan yang membebaskan umat dari kutuk Taurat dengan tidak merombaknya/menggantinya melainkan menggenapinya.

Selanjutnya pandangan Yesus mengenai hari Sabat berubah kepada arti Sabat yang sebenarnya, Ia  menjelaskan bahwa Daud melanggar syariat Sabat lahiriah demi Sabat Rohani dan sosial yaitu pembebasan kehidupan riel kepada para pengikutnya (Luk.6:4-5). Bahkan Yesus sering menyembuhkan orang dihari Sabat yang oleh orang Farisi dianggap melanggar Sabat, suatu yang mereka anggap sebagai dipersalahkan dalam ibadat hukum Taurat (Luk 6:6-11;13:14). Dalam konteks ini Yesus berkata kepada mereka yang menentangnya bahwa:

“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Markus 2:27-28).

Ada juga yang menyalah-tafsirkan ayat itu seakan-akan Yesus menunjukkan perintah untuk memelihara Sabat, padahal konteks ayat itu menjelaskan hal sebaliknya, yaitu membantah pengertian orang Farisi mengenai bagaimana memelihara Sabat! Inti Sabat PL sebenarnya adalah satu hari yang mendatangkan damai sejahtera dan kelegaan kepada manusia setelah seseorang mengalami beban pekerjaan fisik selama 6 hari lamanya. Yesus mengatakan kepada mereka yang lelah dan menanggung beratnya kehidupan kerja disekelilingnya:

“marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kata ‘kelegaan’ adalah terjemahan kata yunani ‘katapausis’ yang sebenarnya merupakan terjemahan kata Ibrani ‘Sabat’ (Kel. 20:11) seperti yang bisa dijumpai dalam Septuaginta (terjemahan Yunani dari Tanakh Ibrani).

Sikap Yesus terhadap hari Sabat secara konsekwen dinyatakan dengan kebangkitannya bukan pada hari Sabat hari ketujuh tetapi ‘pada hari pertama dalam minggu’ (Mat.28:1) sebagai pengejawantahan arti sabat yang sebenarnya. Ini menarik karena kemenangannya atas maut dan ke’tuhan’annya tidak dinyatakan pada hari ‘Sabat Sabtu’ tetapi pada ‘hari Minggu’ karena Ia telah menjadi dan mendatangkan Sabat Yobel bagi manusia. Kita mengetahui bahwa dalam tradisi Israel, setelah 7 kali 7 tahun (= 49 tahun), maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Jobel dimana terjadi pembebasan total bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan. Dalam hitungan hari, setelah 7 kali 7 hari (= 49 hari), hari pentakosta (= hari ke-50) biasanya dirayakan juga (Im.23:15-21; Ul.16:9-11). Hari ke-50 adalah hari Minggu, satu hari setelah sabtu sabat ke-7.

Pada hari kebangkitan-Nya itu, Yesus mendatangi para murid yang berkumpul dan menghadirkan “damai sejahtera dan sukacita” (Yoh.20:19-23). Setelah ‘bangkit pada hari minggu’ Yesus menyatakan diri pada para murid pada ‘hari minggu’ berikutnya dimana mereka berkumpul mengenang kebangkitan Yesus untuk makan roti dan doa (band. Kis.20:7). Demikian juga pada hari minggu mengenang kebangkitan-Nya Ia mengaruniakan ‘Roh Kudus’ kepada murid-murid-Nya (Yoh.20:22). Seminggu berikutnya ketika para murid kembali berkumpul, para murid mengatakan kepada Thomas bahwa: “kami melihat Tuhan” dan ketika Thomas sendiri melihatnya keluarlah pengakuan “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh.20:24-29), pengakuan jemaat awal yang menegaskan bahwa ‘Yesus adalah Tuhan’ yang identik dengan pengakuan kepada Yahweh sendiri (Mzm.35:23-24). Dari sinilah timbul istilah ‘Hari Tuhan’ (kuriake Hemera) yang digunakan Yohanes untuk menyebut hari pertama dalam minggu dimana Yesus menyatakan diri sepenuhnya sebagai ‘Tuhan’.

HARI TUHAN DALAM KITAB WAHYU

Rasul Yohanes melihat penglihatan pada ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why.1:10) dan ‘hari Tuhan’ juga akan menunjukkan hari kedatangan-Nya yang keduakali kelak untuk menghakimi manusia (Kis.2:20; 2 Ptr.3:10). Istilah ‘hari Tuhan’ dalam PB tidak ditujukan kepada Yahweh melainkan kepada Tuhan Yesus. Jadi, dalam Injil jelas terlihat bahwa Sabat sebagai salah satu hari ritual telah digantikan oleh pribadi Yesus sendiri yang menjadi Tuhan atas Sabat dan mendatangkan sabat bagi manusia yang beriman. Tetapi, mengapa Yohanes dalam Injil tidak pernah menggunakan istilah ‘Hari Tuhan’ selain ‘Hari Pertama’?

Kalau Yohanes menggunakan istilah ‘hari pertama’ dalam Injilnya, itu wajar karena itulah nama hari pertama dalam bahasa Yunani waktu ia menulis Injilnya. Yunani kuno menggunakan nama-nama planet/dewa yaitu hemera ‘Heliou – Selenes – Areos – Hermou – Dios – Aphrodites – Kronou.’ Kemudian pada waktu Tanakh (Ibrani) diterjemahkan ke bahasa Yunani dalam Septuaginta (LXX) pada abad III-II BC, maka nama hari-hari di kalangan Yahudi diterjemahkan menjadi hemera ‘Prote – Deutera – Trite – Tetare – Pempte – Paraskevi – Sabbato.’ Kemudian ketika kekristenan melanda Asia Kecil nama hari-hari LXX inilah yang seterusnya digunakan menggantikan nama hari-hari Yunani kuno. Dalam LXX, hari pertama juga disebut ‘tees epaurion tou sabbaton’ (hari sesudah Sabbat, Im.23:15).

Sejak tulisan Yohanes (Why.1:10) itulah kemudian penanggalan Yunani (yang sementara itu mulai terpengaruh kristenisasi) mengganti nama ‘hari pertama’ menjadi ‘kuriake hemera’ dan bukan sebaliknya, ini diikuti dalam tulisan bapa-bapa gereja. Sejak awal kekristenan, ‘kuriake’ (Tuhan) menjadi nama Yunani menggantikan hari ‘pertama’ sampai sekarang, sebutan ‘Hari Tuhan’ kemudian diikuti bahasa lain seperti ‘dominica’ (Latin gereja), ‘domenica’ (Itali), ‘domingo’ (Spanyol/Portugis), yang terakhir ini diindonesiakan menjadi ‘minggu.’

Namun, bukankah ada banyak ayat tentang "hari Tuhan" dalam Perjanjian Lama dan khususnya Perjanjian Baru (Kis.2:20; 1Kor.1:8; 1Kor.5:5; 2Kor.1:13-14; Fil.1:6,10; 2Pet.3:10,12) yang bukan berarti hari pertama dalam minggu, namun adalah ‘hari penghakiman Tuhan terakhir?’ Mengenai penafsiran bahwa ‘hari Tuhan’ itu sebagai ‘hari penghakiman Tuhan terakhir,’ konteks Wahyu 1:10 menunjukkan bahwa hari dimana Yohanes menerima wahyu itu disebut ‘kuriake hemera’ (sebutan itu diucapkan pada hari Yohanes dipulau Patmos melihat penglihatan, Yoh.1:9,10). Dalam LXX ‘Hari Tuhan’ diterjemahkan ‘he hemera Kuriou’ (Yoel 1:15) dan biasanya dalam konteks Perjanjian Baru (Koine) dalam ayat-ayat yang disebutkan diatas ‘hari Tuhan’ ditulis juga ‘hemera tou Kurion.’ Dalam Fil.1:6,10’ disebut ‘hemera tou (Iesous) Kristou.’ Why.1:10 menunjukkan dengan tegas pengakuan baru ‘Hari Tuhan sebagai Kuriake Hemera.

Tetapi, bukankah dalam Why 1:10 Yohanes menyatakan bahwa penglihatan Apokalips datang kepadanya saat ia dikuasai oleh Roh ‘pada hari Tuhan’, inilah sebutan pertama dalam kesusastraan Kristen tentang hari Tuhan yang terdapat hanya 1 kali dalam Alkitab. Dan bukankah susunannya yg bersifat kata keterangan menujukkan bahwa hari itu merapakan penetapan resmi gereja. Dalam arti demikianlah ketetapan ini muncul pada permulaan abad 2 (Ignatius, Epistle to the Magnesians)?

Hari Tuhan bukanlah penetapan gereja, sebab sudah ditulis oleh Yohanes pada akhir abad I sedangkan institusi gereja sebagai organisasi kepausan dimulai dari uskup Roma baru muncul pada abad III dimana mulai dikeluarkan peraturan-peraturan atas nama gereja. Kaisar Konstantin lah yang menjadi kristen yang kemudian mengeluarkan edik yang menjadikan ‘Hari Minggu sebagai hari istirahat resmi’ (AD 321) karena sudah meluas digunakan sebagai hari pertemuan umat Kristen sejak abad pertama.

Mengenai tulisan Ignatius (AD 110), kita mengetahui dari sejarah bahwa ia menggunakan istilah ‘kuriake’ dalam suratnya kepada orang Magnesia yang menunjukkan perubahan dari menjalankan Sabbat menjadi bertemu di hari Minggu. Ignatius menulis “Mereka yang dahulu berjalan dalam praktek masalalu memperoleh pengharapan baru, tidak lagi menjalankan Sabbath, melainkan hidup sesuai hidup Tuhan.” (kata kuriaken zoen zontes), namun terjemahan latin pada abad pertengahan menerjemahkannya menjadi “…, tidak lagi menjalankan Sabbath, melainkan hidup sesuai Hari Tuhan’ (kata kuriaken zontes). Bahwa Ignatius menyebut ‘Hari Tuhan’ diperkuat dengan Tulisan Pseudo Ignatius tentang ‘Surat kepada orang Magnesia’ (tengah abad III) yang berbunyi: “Karena itu marilah kita tidak menjalankan Sabbath sesuai cara Yahudi, … Tetapi biarlah kamu semua menjalankan Sabbath secara spiritual, … Dan setelah menjalankan Sabbath, biarlah semua teman Kristus menjalankan ‘Hari Tuhan’ sebagai perayaan hari kebangkitan, ratu dan kepala semua hari dalam seminggu.” Kitab-kitab ekstra-biblikal yang ditulis setelah penulisan Injil di abad pertama seperti ‘Injil Petrus’ (35,59, AD 150) juga menyebut “’kuriake sebagai nama hari pertama dalam minggu, hari Yesus bangkit.” ‘Dionysius’ uskup Korintus menulis kepada gereja Roma (AD 170) “Hari ini kita menjalankan Hari Suci Tuhan (kuriake hagia hemera).” Pada tengah kedua abad II, ‘Kisah Petrus’ menunjukkan bahwa ‘Dies Domini’ (Latin: Hari Tuhan) sebagai ‘Hari sesudah Sabbath.’

Ada juga yang mempertanyakan, kalau Sabat sudah ditanggalkan dalam PB, mengapa dalam Ibr.4:9 masih dikatakan bahwa masih tersedia satu hari perhentian bagi umat? Mengapa, jawabannya ada dalam kitab Ibrani sendiri bila kita mau mengertinya dalam konteks maksud kitab Ibrani.

Kitab Ibrani sesuai judulnya ditujukan kepada umat Ibrani (yahudi) yang masih berkutat dengan kuk Taurat yang mengikat mereka dengan hukum-hukum agama yang kaku). Kitab ini membandingkan Musa dengan hukum-hukumnya dengan para imam dan imam besar yang menjalankan ritual agama (Perjanjian Lama), dengan anugerah Kristus (Perjanjian Baru) yang lebih tinggi dimana Yesus telah menggenapi Taurat dan menjadi Imam Besar sesungguhnya di surga (Ibr.4:14). Hukum-hukum Musa hanyalah persiapan untuk mengantar umat mengenal Tuhan Yesus sebagai penggenap Taurat (Ibr.3:5). Surat Ibrani menunjukkan kelemahan umat yang sekalipun rajin melakukan ritual Taurat (termasuk Sabat) sejak di padang gurun, namun mengeraskan hati, mencobai Allah, sesat, jahat, tidak percaya, dan tidak taat (Ibr.3:7-19) dan sekalipun mereka rajin menjalankan ritual Sabat mereka takkan masuk ke tempat perhentian Allah (Ibr.3:11;4:3). Konteks Ibr.4 bercerita mengenai mereka yang merasa telah menjalankan ‘hari ketujuh’ sejak masa Yosua tetapi takkan merasakan perhentian Allah, karena itu disediakan ‘hari lain perhentian,’ yaitu saat Yesus datang membawa perhentian sebenarnya. Kitab Ibrani juga menyebutkan bahwa:

“Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakekat dari keselamatan itu sendiri. Karena itu dengan korban yang sama, yang setiap tahun terus-menerus dipersembahkan, hukum Taurat tidak mungkin menyempurnakan mereka yang datang mengambil bagian di dalamnya.” (Ibr.10:1)

SABAT PADA MASA PARA RASUL

Setelah Yesus naik ke sorga, Roh Kudus dicurahkan kepada umat manusia pada ‘hari Minggu’ yaitu pada hari ‘Pentakosta’ (hari ke-50 setelah Sabat Paskah, Kis.2). Hari Pentakosta dianggap sebagai kelahiran gereja Kristen. Gereja Kristen lahir pada hari Minggu, hari mengenang kebangkitan Yesus yang menandakan kemenangannya atas dosa dan maut. Semua ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus Kristus memang menghendaki kita menjadikan ‘hari Minggu’ sebagai ‘hari Tuhan’ dimana kita mengenang Sabat, bukan dalam pengertian Sabat Yahudi yang berupa ritual yang memberatkan umat, namun dalam pengertian ‘Tahun Rahmat Tuhan’, Sabat Akbar (Yobel) yang dikenang sebagai membebaskan umat manusia dari segala penderitaan mereka.

Perlu disadari bahwa hari Minggu bukanlah hari Sabat dalam pengertian ritual tradisi Yahudi, dan sekalipun para murid kemudian masih menghadiri perayaan hari Sabat di Bait Allah / Sinagoga, mereka melihat Sabat sebagai menunjuk Yesus yang menjadi Sabat bagi manusia. Kemudian, para murid berangsur-angsur meninggalkan pertemuan Sabat di rumah ibadat Yahudi dan berkumpul memecahkan roti di hari minggu di rumah-rumah mereka (Kis.2:42;20:7; 1Kor.16:2). Persekutuan demikianlah yang kemudian menjadi hari persekutuan rutin bagi para murid Yesus sebagai hari kenangan mingguan hari kebangkitan Yesus, kebiasaan mana dilakukan sedini hari kebangkitan Yesus (Yoh.20:1,19) dan Pentakosta (Kis.2).

Ada yang menuduh bahwa umat kristen menyembah dewa matahari karena mengubah Sabat menjadi Minggu, hari dewa Matahari (dies solis), benarkah demikian? Dalam astrologi kuno, hari-hari dalam seminggu dikaitkan dengan nama-nama 7 planet dalam tatasurya yaitu dimulai dengan Matahari, Bulan, Mars, Mercury, Jupiter, Venus, dan Saturnus. Dalam mitologi kuno semuanya dikaitkan sebagai dewa, karena itu kalau kita menyebut hari-pertama sebagai hari Dewa Matahari (Dewa Langit/cahaya) maka hari-ketujuh juga bisa disebut hari Dewa Saturnus (Dewa Pengairan/Pertanian). Banyak yang kemudian hanya menggunakan nama dewa planet yang menunjukkan kekuatan alam yaitu hari pertama: Sunday (dies solis), kedua: Mo[o]nday (dies Lunae), dan ketujuh: Satur[n]day (dies Saturni), sedangkan nama-nama hari lainnya kemudian dikaitkan dengan nama dewa-dewi lain. Jadi sebutan bahwa orang kristen menyembah dewa matahari dan dianggap menjadikan hari matahari sebagai ‘Hari Tuhan’ (Lord’s Day) tidak berdasar, sebab orang Kristen yang semula mengikuti tradisi yahudi dengan berkumpul pada hari Sabat kemudian melepaskan diri dari tradisi Yahudi dan menjadikan kenangan ‘hari pertama dalam minggu’ dimana Yesus bangkit sebagai saat berkumpul mingguan untuk mengenang ‘Yesus yang telah bangkit sebagai Tuhan.’ Orang Yahudi menyebut urutan hari dengan Yom Rishom (hari ke-1), Yom Sheyni (hari ke-2), Yom Slishi (hari ke-3), Yom Revi’i  (hari ke-4), Yom Khamishi (hari ke-5), Yom Shishi (hari ke-6), dan Shabbat (hari istirahat). Tentu tidak bisa disebut bahwa orang Yahudi mengkuduskan Dewa Saturnus hanya karena mengkuduskan hari ketujuh bukan?

SABAT PADA MASA GEREJA

Semula para murid Yesus yang berasal dari bangsa Yahudi, sekalipun mulai terbiasa berkumpul di hari minggu, masih melakukan pertemuan di hari Sabat sebagai bagian tradisi sosial-budaya Yahudi dan tidak memisahkan diri dari persekutuan dengan bangsa Yahudi, namun karena Sabat adalah khas terkait dengan perjanjian kepada Musa yang berkaitan dengan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan tidak ada dalam perjanjian kepada Nuh untuk umat manusia, maka karena Sabat ditujukan kepada umat Israel sebagai bagian ritual Taurat, umat Kristen yang berasal dari orang asing umumnya tidak ikut beribadat di hari Sabat, apalagi di rumah ibadat Yahudi (sinagoge).

Karena perkembangan kekristenan yang cukup pesat dan dianggap menjadi duri dalam agama Yahudi, kemudian ada peraturan yang dikeluarkan pimpinan agama Yahudi tentang ‘Birkat Ha-Minim’ (doa melawan penyesat), yang melarang semua pengikut Kristus berada di Bait Allah / Sinagoge pada hari Sabat, peraturan ini menyebabkan umat Kristen yang orang Yahudi kemudian hanya berkumpul di rumah-rumah di hari minggu karena mereka sekarang dilarang menghadiri pertemuan Sabat di hari sabtu di Sinagoge.

Perlu diingat kembali, benar bahwa dalam hidupnya Yesus sering menghadiri pertemuan di hari Sabat namun itu bukan untuk merayakan hari Sabat sesuai tradisi Yahudi (sehingga Ia disalahkan oleh orang Farisi sebagai melanggar Sabat) melainkan karena disitulah Ia bisa bertemu umat yahudi yang berkumpul dimana Ia bisa bersaksi tentang firman Tuhan terutama untuk menyatakan bahwa Ia adalah Tuhan sendiri penggenap Sabat Yobel (Luk.4:18-19), karena kalau Ia masuk ke sinagoga dihari lain tentu tidak ada yang berkumpul, tetapi setelah kebangkitan-Nya dari antara orang mati ketika para pengikut-Nya makin banyak, Ia tidak berkumpul di hari Sabat menemui umat agama Yahudi melainkan menjumpai murid-murid-Nya pada hari minggu dan menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang Bangkit kepada mereka:

“Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" Dan sesudah berkata demikian, Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan. …  Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!".” (Yohanes 20:19-20,28)

Kematian dan kebangkitan Yesus telah menggenapi pembebasan umat manusia dari dosa sehingga umat kristen tidak lagi perlu menambahinya dengan usaha baik manusia termasuk menjalankan ritual Sabat. Demikian juga ketika Rasul Paulus melayani di luar Israel, ia menemui orang-orang Yahudi di sinagoge pada hari Sabat tetapi bukan untuk merayakan Sabat tetapi untuk berkomunikasi sambil menyatakan kuasa Allah (Kis.16:13-18), dan ia menemui umat kristen di hari minggu dan mengingatkan jemaat di Galatia agar tidak lagi menekankan upacara hari-hari raya Yahudi melainkan mengenal Allah yang benar yang telah membebaskan umat-Nya dari perhambaan Taurat Yahudi (Gal.4:1-11, terutama ayat.10-11).

“Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Galatia 2:16).

Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Paulus juga menulis:

“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.” (Kolose 2:16-17)

Bapa-Bapa gereja sesudah rasul Yohanes meninggal (akhir abad pertama) juga menguatkan bahwa perkumpulan di hari minggu sudah dipraktekkan secara luas di kalangan Kristen. Kita sudah melihat bahwa umat Kristen menyebut hari minggu sebagai ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why.1:10), sebagai hari ‘Tuhan Yesus’, yang bangkit pada hari pertama dalam minggu.

Dalam Didache 14 (kitab pengajaran Ke-12 Rasul dari AD 70-120) menyebut “mereka berkumpul memecahkan roti pada Hari Tuhan (kuriaken).” ‘Epistle to Barnabas (xv, AD 100)’ menyebut “Kami menjalankan hari kedelapan dengan sukacita dihari Yesus bangkit dari orang mati.”  Ignatius (115 M, Epistle to the Magnesian) mengatakan:

“Jangan kita memelihara lagi hari Sabat, melainkan merayakan Hari Yesus Kristus, pada hari mana hidup kita bangkit dari kematian oleh Dia.”

Justinus Martir (145 M) menyebut hari minggu sebagai “Hari ibadat untuk Tuhan” dan mengatakan:

“pada hari pertama itu dengan mengubah gelap menjadi terang Tuhan menjadikan dunia, dan karena Yesus Kristus, Juru-selamat kita, pada hari itupun, yaitu hari pertama dalam pekan, bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada murid-murid-Nya.”

Tertulianus (AD 180) menyebut “hari Yesus Bangkit sebagai hari perhentian,” dan bahwa:

“hari Tuhan, yaitu hari kebangkitannya, kita bukan hanya meninggalkan kebiasaan berlutut, tetapi juga menanggalkan segala kesusahan dan segala yang menindas kita serta bangkit bekerja.”

 Melito, uskup Sardis (190 M) menulis thesisnya berjudul ‘Hari Tuhan’ yang maksudnya ‘hari Minggu.’ Sedangkan bapa gereja lainnya, yaitu Clemens dari Alexandria (220 M) mengatakan bahwa:

“hari pertama dari tiap-tiap pekan telah menjadi hari perhentian, karena kebangkitan (Tuhan Yesus) dari kematian.” 

Sedangkan Cyprianus (AD 200), Victorinus (280) dan Eusebius Caesaria (328 AD) sepikir dengan penulis-penulis sebelumnya bahwa “Kebangkitan Yesus menandai ciptaan yang baru, dan menjadikan hari kebangkitan seperti hari pertama penciptaan.” 

Dari data-data di atas kita dapat melihat bahwa kebiasaan berkumpul pada hari Minggu oleh umat Kristen di rumah-rumah menggantikan berkumpul di hari Sabat Sabtu Yahudi di rumah ibadat, disamping jemaat di Israel sejak hari kebangkitan Tuhan Yesus dan Kisah Para Rasul, ternyata sudah menjadi praktek jemaat kristen sejak abad pertama baik di Afrika Utara, Eropah maupun Asia Kecil, jauh sebelum kekaisaran Konstantin pada abad-IV meresmikan hari minggu dengan mengeluarkan edik sebagai hari istirahat negara. Mendukung kenyataan yang telah berjalan tiga abad lamanya itu, pada tahun 321 M, kaisar Konstantin mengeluarkan edik yang menentukan hari minggu sebagai hari istirahat negara dan meliburkan/menutup gedung-gedung pemerintahan pada hari itu, sehingga para pegawai dapat pemerintah dapat mengalami kelegaan setelah enam hari bekerja keras. Edik ini bukan merupakan produk ketentuan yang baru lahir, melainkan meresmikan kebiasaan di kalangan umat kristen yang sudah berjalan tiga abad lamanya.

Pengertiannya yang dikandung dalam edik di sini adalah bahwa masyarakat harus berhenti/libur dari pekerjaan sehari-hari dan menghadiri pertemuan ibadat di hari minggu. Hari minggu tidak pernah dianggap sebagai hari Sabat (seperti dimengerti dalam agama Yahudi). Baik Roma Katolik maupun Orthodox tidak menganggap ibadat hari Minggu sebagai penerusan Sabat Yahudi. Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin juga menekankan hari Minggu sebagai hari istirahat dan hari berbakti bagi umat Kristen, dan mereka juga menolak mengkaitkan hari Minggu dengan hari Sabat Yahudi.

Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari istirahat dan berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai perbuatan baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan hari Minggu adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita mengenang dan merayakan hari kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah memerdekakan mereka dari perhambaan kerja, karena Ia adalah Tuhan yang telah bangkit!

SABAT PADA MASA KINI

Memang sepanjang sejarah gereja sewaktu-waktu muncul kelompok-kelompok dalam kekristenan yang ingin kembali merayakan Sabat seperti halnya Syariat Sabat Taurat Yahudi, dan khususnya pada akhir abad XIX ada aliran-aliran terutama ‘Seventhday Adventist’ dan ‘Chruch of God, seventhday’ di Amerika Serikat yang mengembalikan Syariat Sabat Taurat Yahudi tersebut dalam ibadat mereka, mereka ini disebut kaum Sabbtarian.

Sebenarnya, masalah yang dihadapi kaum Sabbatarian adalah bahwa sekalipun mengaku sebagai umat Kristen mereka belum menghayati arti Injil Yesus yang sebenarnya dan tidak mengikut Tuhan Yesus Kristus dengan sepenuh hati seperti para rasul dan murid Yesus tetapi dengan satu kaki berdiri diatas jalan Yesus (Injil) tetapi kaki lainnya masih berada di jalan Yudaisme (Taurat), itulah sebabnya Sabbatarianism dijuluki ‘Twentieth Century Judaism.’ ***
 

Salam kasih dari Yabina ministry www.yabina.org

 


PTMaya Sebelumnya